WATU PALINDO
Watu palindo merupakan salah satu
objek wisata yang terdapat di kabupaten poso tepatnya di desa bewa kec. Lore
selatan (lembah bada) di padang sepe, 1 km dari desa bewa.
Watu
palindo yang berarti batu penghibur pada saman purba adalah tempat penyembahan berhala
masyarakat bada. Yang menganut agama primitive karena masuknya agama baru ± 100 tahun masuk di tanah poso. Pada zaman
itu watu palindo sewaktu-waktu tempat di adakan upacara-upacara hualaik dan
masyarakat membawa sajian-sajian berupa nasi pulut putih dan telur ayam kampung
untuk di persembahkan kepada dewa-dewa karena watu palindo adalah patung yang
berbentuk manusia juga patung yang terbesar di bada khususnya. Sehingga
masyarakat bada pada zaman itu menganggap watu palindo adalah raja dewa-dewa.
Yang di buktikan bahwa setiap patung, baik yang berbentuk manusia maupun yang
berbentuk hewan antara lain patung monyet, patung babi, patung kerbau dan
patung lainnya semua menghadap ke watu palindo, sampai saat ini.
Watu
palindo yang memiliki tinggi hamper 3 meter keadaannya sekarang miring. Menurut
cerita, dahulu raja palopo memerintahkan untung memindahkan patung ini ke
halaman istananya sebagai tanda kekuasaanya atas lembah bada. Namun usaha ini
gagal di lakukan,semua rakyat raja palopo yang berusaha menggali patung palindo
mati tertindis patung tersebut. Sehingga patung palindo menjadi miring.
Daya
tarik dari patung ini adalah bentuknya yang berupa manusia memakai ikat kepala
(pekabolu), mata bulat melotot, tangan yang mengarah ke phallus yang menonjol,
serta tanpa kaki. Kemudian posisinya yang miring, membuat para pengunjung
tertarik. Fasilitas-fasilitas yang ada disana yaitu shelter, penginapan losmen barito yang ada di desa
gintu 1,5 km dari desa bewa dan penginapan ningsih yang ada di desa bomba 6 km
dari desa bewa.
Penginapan Ningsih
Patung palindo dapat di tempuh dari
desa bewa dengan berjalan kaki melewati sungai laeriang (salah satu sungai yang
mengalir dilembah bada). Dapat juga di tempuh dengan memakai kendaraan beroda
empat atau kendaraan beroda dua tetapi harus berputar melalui jembatan dengan
melewati beberapa desa.
Sampai
sekarang patung ini dikelolah oleh Bapak Beni Geso. Para pengunjung dilarang
membakar rumput sembarangan, untuk menjaga fasilitas-fasilitas yang ada
disekitarnya.
LEMBAH BADA
Lembah bada secara administratif pemerintahan berada di
dalam kecamatan lore selatan, kabupaten poso. Desa gintu adalah ibukota
kecamatan, dimana pengunjung lembah bada biasa tinggal saat melakukan
eksplorasi lembah bada. Tempat ini sudah terkenal di kalangan pelancong
mancanegara sejak lama.
Lembah Bada
Lembah bada memiliki pemandangan yang spektakuler . sebuah
daerah yang relatif datar, yang dikelilingi perbukitan, sehingga awan yang
tertahan di puncak bukit yang mengelilingi lembah menyajikan pemandangan
dramatis. Sering terlihat satu bagian lembah bada dimana hujan sedang jatuh,
sedang bagian lainnya matahari menyelinapkan cahayanya dari balik awan. Jika
angin bertiup keras maka terlihat tirai hujan yang menyapu lembah.
Ditengah lembah bada mengalir sungai laeriang, dan
kemudian sungai malei menyatu dengan sungai laeriang, menambah derasnya sungai
laeriang. Karena inilah sungai laeriang dahulu perna di pakai sebagai tempat
olahraga pengarungan sungai. Di tengah lembah bada sendiri arus sungai laeriang
cukup tenang karena alur yang dilalui relatif datar. Namun setelah sungai
kembali memasuki celah-celah bukit, maka jeram yang dihasilkan dapat mencapai
kelas IV-V.
Patung Palindo
Hal lain yang menjadi daya tarik utama lembah bada adalah
keberadaan artefak batu berupa patung dan tempayan peninggalan kebudayaan
megalithik. Patung megalitik dilembah bada merupakan wajah manusia yang sudah
distilasi, dimana alis dan hidung digambarkan menjadi satu, sedangkan bagian
mulut dihilangkan. Patung dilembah bada umumnya memiliki tanda gender yang
jelas. Di patung paindo dan meturu terukir gambar alat kelamin laki-laki. Sedangkan
pada patung langke bulawa digambarkan alat kelamin wanita. Perbedaan gender
gender juga digambarkan pada raut wajah,dimana pada patung wanita, wajahnya
digambarkan seperti dahi yang tertutup poni.
Masyarakat yang sekarang menghuni lembah bada,hampir tidak
ada ikatan yang bersifat emosional-irrasional dengan artefak batu ini. Namun
kehadiran artefak batu ini memberi suatu pemahaman pada mereka, untuk tetap
menjaga wilayah mereka dalam suasana damai dan berkemakmuran sehingga dapat menghasilkan
karya patung tempayan batu ini. Hal ini sedikit banyak member motivasi terhadap
mereka, untuk tetap menjaga wilayah mereka dalam suasana damai.
Penduduk di Desa ini mayoritas memeluk agama Kristen, sedangkan pemeluk Islam telah
terusir sejak kerusuhan di poso dan hanya sedikit yang tertinggal. Suku asli
yang mendiami kota ini adalah suku Bada. Suku Bada juga tersebar hampir di
seluruh provinsi Sulawesi Tengah. Suku Bada mempunyai gereja suku, yaitu Gereja
Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Agama kristen diterima sebagai agama rakyat
(Public Religion).
Rumah Adat Bada
Rumah adat Bada terbuat
dari tiang dan dinding bambu yang beratap ijuk dan hanya memiliki satu ruang
besar. Lobo atau baruga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk
festival, upacara atau pesta modulu-dulu (makan bersama). Sedangkan Tambi
merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang
disebut Gampiri.kemudian pakaian adat wanita, mulai dari pohea sebagai pengikat
kepala. Hiora hiasan kepala yang terbuat dari kalide dan bulu-bulu ayam yang sudah diwarnai. Awolo sebagai
kalung, kaewa adalah baju adat yang disulam dari benang emas dan wini adalah rok yang berasal dari sarung
donggala atau rok yang terbuat dari kulit kayu. Pakaian adat laki-laki mulai
dari Siga sebagai ikat kepala untuk laki-laki, baju dan celana yang sudah
dirancang sedemikian rupa. Piho atau parang yang diselip dipinggang, pahua
semacam sarung modelnya hingga sepanjang sarung.
IKAN SOGILI BAKAR
Ikan Sogili Bakar atau Hewan yang kerap disebut sebagai belut air tawar
atau sidat ini adalah menu khas andalan
kota Tentena, ibu kota Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Provinsi
Sulawesi Tengah.
Ikan Sogili
Pada saat kita melihat
ikan sogili atau sidat, kita akan merasa jijik. Tapi, jika tahu khasiatnya,
orang bakal tak sempat membayangkan rasa jijiknya. Badannya yang pipih
memanjang sekilas mirip belut. Kalau lebih ditelisik, kepalanya ternyata
berbeda. Bentuknya lebih mirip ikan lele yang ber-sungut dua. Di Indonesia ikan
ini dikenal dengan berbagai nama menurut bahasa daerah. Orang Betawi
menyebutnya Moa, orang Sulawesi menyebutnya Sogili, orang Sunda menyebutnya
Lubang, sementara ada juga yang menyebutnya Massapi. Dalam bahasa Indonesia
ikan ini disebut ikan Sidat (Anguilla sp.). Ikan sogili mempunyai banyak
keunggulan. Konon, tekstur dagingnya yang lembut mampu menyembuhkan berbagai
penyakit, terutama penyakit kulit.
Ikan
Sogili
Dua puluh
tahunan silam, sogili atau anguilla celebensis mudah didapat di danau yang
berada di ketinggian 675 meter di permukaan laut ini. Sogili yang sekujur
tubuhnya berlendir ditangkap nelayan setempat menggunakan jaring, tombak maupun
jerat berbentuk huruf V berbahan dasar
bambu. Kini, ikan yang tubuhnya rata-rata dua kali lebih besar ketimbang lele
yang dijumpai di warung-warung pecel lele Ibu Kota, sudah terhitung langka.
Sogili yang pernah ditangkap mencapai panjang 1,8 meter dan berat 20 kilogram. Warga
Tentena, sekarang, melakukan budidaya ikan ini di dalam karamba.
SAGUER
Saguer adalah minuman khas kabupaten Poso, yang berasal
dari Lembah Bada kecamatan lore selatan. Yang dapat di peroleh dari pohon enau
(dalam bahasa bada disebut dengan baru), dengan cara memukul batang buah pohon
enau secara perlahan-lahan sambil menggoyang-goyangkan buahnya setiap pagi dan
sore sampai waktu yang tertentu. Jika buahnya sudah mulai pecah, tangkai
buahnya di potong tetapi jangan terlalu pendek. Kemudian batang enau yang
tersisa di pohonnya di bungkus ijuk dan daun-daun kemudian di tunggu lagi untuk
beberapa hari. Setelah beberapa hari jika airnya sdh mulai menetes, pembungkusnya
dibuka lalu dipukul lagi secara perlahan-lahan sambil memasukkan bambu atau
botol aqua ke batang enau tersebut.
Pohon enau Buah
Pohon Enau
Bagi masyarakat bada saguer merupakan symbol
kesejahteraan, yang telah turun temurun sejak dahulu kala sampai sekarang.
Saguer selalu disajikan pada saat makan, terutama pada saat pesta kawin,
syukuran, penyambutan tamu atau pesta lainya. Saguer di jadikan minuman saat
makan bersama atau modulu-dulu.
Saguer dan kue
Saguer juga bisa di jadikan gula merah,. Tetapi Saguer
tersebut haruslah manis sekali. Oleh karena itu bambu yang digunakan untuk
menampungnya haruslah dicuci hingga bersih. Bila tidak, maka saguer akan
mengalami fermentasi sehingga mengasilkan nira yang berkadar alkohol. Oleh
karena itu orang yang kebanyakan minum saguer bisa mabuk. Gula merah adalah
salah satu bahan pokok yang digunakan dalam berbagai masakan atau kue-kue
masyarakat
Gula merah
Kain Kulit Kayu
Kain
yang terbuat dari kulit kayu ini adalah suatu kerajinan yang berasal dari
kabupaten poso, yaitu: lembah bada, dan besoa.
Pakaian merupakan
salah satu pencapaian kebudayaan manusia. Ia tidak saja dibuat untuk melindungi
tubuh dari dinginnya malam dan teriknya matahari (fungsi perlindungan), serta
perhiasan (fungsi keindahan), tetapi juga sebagai bentuk pemenuhan terhadap
kebutuhan spiritualnya. Berkelindannya nilai-nilai tersebut dapat ditemukan
pada Kain Kulit Kayu yang dibuat oleh masyarakat Bada kabupaten Poso.
Kain Kulit Kayu
mempunyai banyak nama. Disebut ivo
dan kumpe oleh
masyarakat di daerah Pandere dan Kulawi; ranta
oleh masyarakat Bada; dan inodo
oleh masyarakat Besoa. Namun, secara umum masyarakat Donggala menyebutnya kain vuya.
Kain ini merupakan
saksi bisu perjalanan tradisi berpakaian masyarakat Bada. Konon, kain unik ini
telah dibuat dan digunakan oleh masyarakat Bada sejak ratusan tahun lalu baik
untuk bahan pakaian sehari-hari seperti baju, celana, rok dan ikat kepala,
maupun untuk digunakan dalam upacara adat, seperti upacara musim panen atau
upacara duka cita. Bahkan, sebelum dikenal kain buatan pabrik, kain ini juga
digunakan sebagai kafan
(pembungkus mayat) bagi para bangsawan dan ketua adat Bada yang meninggal
dunia.
Tidak heran jika pakaian yang terbuat dari kulit kayu ini
dapat menembus daerah-daerah lain, antara lain kabupaten Donggala yang sampai
saat ini juga mereka menjadikan kain dari kulit kayu ini sebagai kerajinan khas
mereka.
Cara pembuatan yaitu: pertama-tama kulit yangsudah dikupas
dari pohonx, dikuliti kembali kemudian direbus, lalu diangkat dan didiamkan
selama beberapa menit. Setelah itu kulit yang sudah dimasak di pukul-pukul di
atas kayu yang sudah disediakan dengan batu yang di sebut masyarakat bada
dengan batu bea, lalu di jemur dan kemudian di pukul-pukul lagi untuk
membentuknya dengan berbagai macam model atau keinginan, Seperti baju atau
celana.
Batu bea
Namun seiring perkembangan
zaman, keberadaan kain ini menjadi semakin tersisih dan bahkan terancam punah.
Penyebabnya, selain karena membanjirnya produk-produk tekstil buatan pabrik
yang bisa didapat dengan harga murah dan dengan model yang cukup beragam, juga
karena semakin minimnya pewarisan kemampuan untuk membuat kain kulit kayu.
Selain itu, pohon-pohon sebagai bahan baku utama pembuatan kain ini semakin
sulit didapat karena penebangan hutan yang tidak terkontrol.
Oleh karenanya, perlu
dilakukan langkah-langkah serius oleh para pembuat kebijakan agar kain yang
cukup ramah lingkungan ini tidak hilang ditelan zaman. Ada beberapa hal yang
harus dilakukan untuk menyelamatkan kain ini, di antaranya adalah:
pertama, Pewarisan nilai-nilai dan
keterampilan cara membuat Kain Kulit Kayu. Pewarisan dapat dilakukan dengan
menjadikan Kain Kulit Kayu sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah.
Kedua, Revitalisasi produk baik
secara bentuk maupun nilai ekonominya. Jika selama ini Kain Kulit Kayu hanya
digunakan untuk membuat pakaian, khususnya pakaian upacara adat, maka perlu
dipertimbangkan untuk mengembangkannya sehingga lebih menarik, misalnya untuk
media lukis, taplak meja, dan sebagainya, yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Pengembangan produk tentu akan membuat kain ini mendapat tempat di hati masyarakat
dan pada saat bersamaan para pengrajinnya mendapatkan keuntungan secara
ekonomi. Dengan cara ini, masyarakat dengan sendirinya akan melestarikan kain
ini.
Ketiga, Menjamin ketersediaan bahan.
Oleh karena bahan dasar kain ini adalah kulit kayu, maka sudah barang tentu
keberadaan kayu merupakan hal yang sangat menentukan. Bagaimana kain ini akan
dilestarikan, jika bahan dasar untuk membuatnya tidak tersedia.
Upacara adat pekasiwia
Pekasiwia adalah salah satu
upacara adat yang biasa dilakukan di kabupaten Poso. Motivasi dibalik upacara
pekasiwia adalah sebagai bentuk penghormatan kepada tamu-tamu yang dating ke
Daerah Poso, yang didasarkan pada filosofi bahwa tamu adalah sanak keluarga
penting yang perlu dihormati dan dihargai. Dengan kata lain, jika anda disambut
dengan pekasiwia ketika berkunjung ke wilayah yang juga dikenal sebutan Tanah
Poso, berarti anda sudah diterima baik oleh pihak masyarakat adat Poso,
termasuk pemerintah dan seluruh masyarakatnya. Anda dihormati dan dihargai oleh
seluruh elemen masyarakat Poso.
Tradisi yang unik dan
mengharukan tersebut saat ini sudah menjadi program pemerintah poso untuk
menjemput tamu pemerintah baik wisatawan maupun kalangan pejabat.
Berbagai bahan digunakan
sebagai symbol dalam pelaksanaan upacara adat pekasiwia, diantarnya telur ayam
7 butir dan beras Tentena (terkenal dengan kenikmatannya) yang ditaruh dalam
bakul ‘Binka Lora’, seekor ayam jantan putih berparuh dan berkaki kuning,
minuman Nira atau Saguer manis yang masih segar yang di-tifar atau diambil dari
pohon enau yang ditaruh dalam bambu kuning pilihan.
Proses penyambutan pekasiwia
ini di tuntun oleh seorang pemangku adat dan beberapa gadis cantik yang disebut
Ana Wea Madolidi dengan menggunakan busana tradisional Pamona,salah satu
masyarakat asli daerah Poso. Para Ana Wea Madolidi berperan memegang ayam
jantan putih,bamboo tempat Nira atau Saguer manis, Bingka Lora serta
mengalungkan bunga kepada tamu yang disambut. Sambil proses berlangsung, sang
pemangku adat akan menjelaskan atau membacakan makna-makna dari setiap tahapan
proses pekasiwia
Bahan baku dari pekasiwia
tersebut berasal dari makanan dan minuman tradisional masyarakat poso dan
melambangkan kemakmuran serta kesejahteraan mereka. Arti dan makna warna-warna
dari symbol-symbol tersebut adalah putih mengartikan rakyat dan pemerintah Poso
menerima tamu dengan tulus dan hati yang suci. Kuning melambangkan keagungan,
dimana rakyat dan pemerintah Poso
menyambut tamu dengan hormat. Rasa manis melambangkan keakraban, dimana rakyat
dan pemerintah poso menyambut tamu dengan penuh rsa kekeluargaan. Angka tujuh
sebagai angka keramat bagi masyarakat Poso melambangkan kesempurnaan dengan
harapan Tuhan Yang Maha Esa meridhoi dan menyempurnakan pertemuan pertama dan
seterusnya.
Kayu hitam
Kayu
Hitam adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari keluarga eboni (suku
Ebenaceae). Nama ilmiahnya adalah Diospyros
celebica, yakni diturunkan dari kata Celebes (Sulawesi). Kayu ini
dapat di jumpai di Sulawesi.
Pohonnya
lurus dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter
batang bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan) besar.
Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam.
Pepagannya berwarna coklat muda dan di bagian dalamnya berwarna putih
kekuning-kuningan. Daun tunggal terletak berseling, berbentuk jorong memanjang,
dengan ujung meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit dan berwarna
hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna hijau abu-abu. Bunganya
mengelompok pada ketiak daun, berwarna putih. Buahnya bulat telur, berbulu dan
berwarna merah kuning sampai coklat bila tua. Daging buahnya yang berwarna
keputihan kerap dimakan monyet, bajing atau kelelawar; yang dengan demikian bertindak sebagai agen
pemencar biji. Bijinya
berbentuk seperti baji yang memanjang, coklat kehitaman.
Kayu
Hitam
Pohon ini
menghasilkan kayu yang berkualitas baik. Berwarna coklat gelap, kehitaman, atau
hitam berbelang-belang kemerahan, dalam perdagangan internasional kayu hitam
Sulawesi ini dikenal sebagai Macassar ebony, Coromandel ebony, streaked
ebony atau juga black ebony. Nama-nama lainnya di Indonesia di antaranya
kayu itam, toetandu, sora, kayu lotong, kayu maitong, dan lain-lain.
Kayu hitam
Sulawesi terutama digunakan untuk furniture mahal, ukir-ukiran dan patung, alat
musik (misalnya gitar dan piano), sendok, kursi, gelang bingkai foto dan
perhiasan-perhiasan. Jenis ini hanya terdapat di Sulawesi di hutan primer pada tanah liat, pasir atau tanah
berbatu-batu yang mempunyai drainase baik, dengan ketinggian mencapai 600 m dpl. Secara
alami, kayu hitam Sulawesi ditemukan baik di hutan hujan tropika maupun di hutan musim.
Ukiran-Ukiran Patung
Kerbau
Gitar
Sendok
Kursi
Gelang
Kayu ini
telah diekspor ke luar negeri semenjak abad ke-18. Pasar utamanya adalah Jepang, dan juga Eropa dan Amerika Serikat. Karena
perkembangan populasi yang lambat dan karena tingginya tingkat eksploitasi
di alam, kini kayu hitam Sulawesi telah terancam kepunahan. Ekspor kayu ini
mencapai puncaknya pada tahun 1973 dengan jumlah sekitar 26,000 m3, dan
kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus menurun karena kekurangan stok di
alam.
Bingkai
Foto
Untuk melindunginya, kini IUCN menetapkan
statusnya sebagai vulnerable (rentan), dan CITES
memasukkannya ke Apendiks 2.
Burung maleo
Burung Maleo atau Macrocephalon Maleo, merupakan burung
endemik yang hanya bisa dijumpai di Kepulauan Sulawesi. Burung ini bisa
ditemukan di hutan pegunungan dan hutan pantai, di Sulawesi Tengah. Sepintas penampilan burung ini biasa saja,
selain jambul di kepalanya, burung ini mirip dengan ayam. Dari penampilannya,
sulit dibedakan antara burung jantan dan betina.
Burung
Maleo
Daya
tarik burung Maleo justru pada telurnya, yang ukurannya lima kali lebih besar
dari telur ayam. Inilah yang menyebabkan telur burung Maleo banyak diburu
orang. Sehingga kelestariannya terancam.
Telur
Burung Maleo
Telur
burung Maleo memang memiliki nilai ekonomis, yang lebih tinggi dibandingkan
telur ayam, karena bentuknya yang lebih besar. Harganya di pasar gelap bisa
mencapai 50 ribu rupiah per butir. Burung Maleo sebenarnya dapat bertelur dua kali dalam sebulan. Namun
setiap bertelur, hanya satu telur yang dihasilkan. Sang induk meletakkan telurnya di dalam lubang
yang berpasir, yang dekat dengan sumber air panas. Oleh karena itu, habitat
asli burung ini berada di sekitar sumber air panas, yang tanahnya berpasir.
Tetapi dari sepuluh habitat burung Maleo di
Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, kini hanya tinggal 4 habitat saja.
Sisanya telah rusak dan punah. Penyebab
utama terancamnya kelestarian burung Maleo tidak hanya telurnya diambil
manusia, tetapi juga ganggan dari predator alaminya, yakni biawak dan tikus
hutan.
Selain itu, pembukaan lahan hutan untuk
perkebunan, dan kebakaran hutan juga menjadi penyebab rusaknya habitat asli
burung Maleo. Salah satu habitat burung Maleo yang masih dapat dijumpai di kawasan
Sulawesi Tengah adalah di Saluki, kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Untuk mencapai Saluki, dapat ditempuh dengan
menggunakan mobil hingga Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Donggala.
Desa ini berjarak sekitar 45 kilometer
arah selatan dari Kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah. Selepas dari Desa Tuva,
perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan sepeda motor sejauh 4 kilo meter.
Di Balai Taman Nasional Lore Lindu di Saluki
inilah dilakukan upaya pelestarian terhadap burung Maleo. Lokasi penangkaran
terletak di kawasan habitat aslinya, karena hanya di tempat semacam inilah
burung maleo dapat berkembang biak. Di lokasi ini terdapat sembilan kandang penangkaran. Telur burung Maleo
disimpan di dalam lubang tanah yang berpasir di dalam kandang, dan akan menetas
sendiri dalam waktu 76 hingga 90 hari.
Penangkaran
burung Maleo ini turut melibatkan masyarakat sekitar. Di 9 tempat penangkaran
di Saluki ini terdapat sekitar 178 ekor burung Maleo. Sementara di seluruh Taman Nasional Lore
Lindu, jumlah populasi burung Maleo diperkirakan mencapai 500 ekor.
Like This,,
BalasHapus